Yang Mahal Dari S2
Sudah beberapa bulan ini saya menjalani studi S2 jurusan Studi Islam di salah satu perguran tinggi di Jakarta. Dalam perjalanannya, saya sempat terpikir tentang hal penting dari menjalani S2 ini, “Apakah perlu?” batin saya.
Sempat terlintas di kepala saya argumen seperti ini: Jika yang dibutuhkan adalah ilmu tentang Islam, tidak kuliah pun bisa. Misalnya saja, dengan mengikuti majelis-majelis, belajar otodidak, atau mungkin belajar dari guru agama.
Namun, setelah melalui perenungan, saya menemukan bahwa yang mahal dari S2 adalah dua hal berikut:
- Kerendahhatian
- Terpapar
Kerendahhatian, dalam arti, kita membiarkan ego kita ‘terluka’ saat proses belajar. Sebagai orang dewasa, ada kecenderungan pada diri kita untuk sulit belajar sesuatu. Pasalnya, kita merasa sudah lewat waktunya bagi kita untuk diajari. Kita merasa sudah tahu. Kita bukan anak sekolah lagi yang mesti diajari. Apalagi jika diajari oleh orang yang lebih muda dari kita.
Saat menjalani S2, saya menempuh jalan itu. Saya membiarkan ego saya ‘terluka’ demi menuntu ilmu. Saya berguru kepada yang lebih muda maupun yang lebih senior dari saya. Bagi saya, ini adalah pengalaman yang mahal harganya.
Saya teringat ungkapan Imam Abu Hanifah yang sanga tekun dalam menuntut ilmu. Beliau pernah berkata, “Sesungguhnya termasuk ilmu pengetahuan, jika aku belajar dari orang lain bagaimana seharusnya mengenakan sandal.”
Tidak peduli ilmu itu datang dari mana. Tidak peduli sekecil apa pun perkara itu. Jika memang itu adalah ilmu yang bermanfaat, penyampainya adalah guru bagi kita.
Kedua, adalah terpapar. Jika tidak lanjut S2, saya tidak akan bertemu dengan para mahasiswa yang hebat dan semangat dalam menunut ilmu. Saya juga tidak akan bertemu dengan para dosen yang menginspirasi. Salah satunya adalah Bapak Lukman, dosen Sejarah Peradaban Islam.
Insight dari beliau yang membekas di benak saya hingga saat ini adalah: Pentingnya menetapkan standar yang tinggi.
Beliau menekankan pentingnya memiliki standar yang tinggi, jika ingin tumbuh dan berkembang. Beliau pernah bercerita pengalamannya saat menjalani studi di Australia.
“Sebagai penerima full beasiswa, standar yang dituntut kepada saya tinggi, minimal 9,” kira-kira begitu kata beliau.
“Standar yang rendah memang bikin nyaman, tapi itu bikin bodoh,” katanya juga.
Saya sependapat dengan beliau. Menurut saya, dalam hidup pun demikian. Ketika kita punya standar yang tinggi, kita akan tergerak untuk terus berupaya melakukan yang terbaik. Kita akan mengerahkan sisi terbaik dalam diri kita. Rasanya memang tidak nyaman, tapi itulah yang harus dijalani dalam proses pendakian.
"Maka tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?" (QS: Al Balad: 11).
Kalau pun kita tidak mencapai standar yang diinginkan, bagi saya ya seperti ujian saja. Remedial hingga lulus. Bukan menurunkan standar hanya untuk meluluskan kita.
Dua hal ini, kerendahhatian dan terpapar adalah dua hal yang mahal dari menjalani S2. Setidaknya bagi saya.
.png)
Posting Komentar untuk "Yang Mahal Dari S2"
Posting Komentar